Advertisement
informasiphatas.net || Surabaya – Suasana dini hari Majelis Al-Mubarok Surabaya mendadak berbeda pada Kamis (11/8/2025) pukul 03.00 WIB. Seorang tamu istimewa datang jauh-jauh dari Banyuwangi: Mbah Imron, sosok nyentrik yang dikenal dengan berbagai julukan—Mbah Klinting, Mbah Wewe, Kyai Imron, hingga Mbah Imron.
Julukan dan Penampilan
Julukan “Mbah Klinting” melekat karena ia sering mengenakan aksesori berupa klintingan yang berbunyi khas setiap kali ia bergerak. Adapun sebutan “Mbah Wewe” muncul dari penampilannya yang unik dan, dari belakang, kerap diasosiasikan dengan tokoh wewe gombel dalam cerita rakyat Jawa.
Padepokan Wewe Gombel
Pada 2013, Mbah Klinting mendirikan Padepokan Wewe Gombel, yang kini telah berusia lebih dari sepuluh tahun. Padepokan tersebut menjadi wadah aktivitas spiritual sekaligus sosial, dan nama “Wewe Gombel” menjadi identitas yang melekat kuat padanya.
“Wali Kuliner” dan Filosofi Hidup
Dalam keseharian, Mbah Klinting dijuluki Wali Kuliner karena sering menyambangi warung rakyat untuk menjalin kedekatan dengan masyarakat kecil. Meski bergaya nyentrik, pesan-pesan yang ia sampaikan sarat makna. Salah satu ungkapan yang kerap ia petik berbunyi:
Allahumma anyebbar Gondo Arum, tiyas manis kang mantesi, ruming wicoro kang mranani, sinembuh laku utomo.
Disambut Gus Barok dan Jamaah
Kehadiran Mbah Wewe di Majelis Al-Mubarok disambut hangat oleh Gus Barok, pengasuh majelis, bersama para jamaah. Gus Barok menjelaskan bahwa santrinya datang dari beragam latar belakang.
“Saya menyebutnya santri ireng putih, karena tidak semuanya dari kalangan putih—ada juga yang berasal dari dunia hitam,” ujarnya.
Mas Syahriar, sahabat dekat Gus Barok, menambahkan bahwa kunjungan ini terjadi atas dawuh hati Mas Sayyid Syahriar. Ia menyebut, Gus Barok kerap menimba ilmu dari Sayyid Syahriar, bahkan pernah mendapat pesan untuk mengadakan tabarukan di Surabaya, khususnya di Majelis Al-Mubarok.
Pesan tentang Adab
Momen tersebut menjadi pengingat bahwa spiritualitas tidak hanya hadir dalam bentuk formal, tetapi juga dalam keseharian, pergaulan, bahkan senda gurau di warung kopi.
Para sufi, kata Mbah Klinting, selalu mengutamakan adab serta akhlak mulia yang diwariskan para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. Mengagungkan lembaga atau tokoh apa pun harus tetap dilandasi adab.
“Contoh, saya pernah dikenalkan kepada seorang pejabat oleh Gus Barok. Meski saya punya kuasa, saya tidak serta-merta meminta nomor teleponnya—kecuali ada dawuh khusus,” ujarnya.
Kehadiran Mbah Klinting menjadi pengingat bahwa nilai adab dan akhlak dapat hadir dalam bentuk apa pun, bahkan melalui sosok yang tampil sederhana dan bersahaja.
Editor : Para Pencari Tuhan